Selasa, 25 Juli 2023

Memetik Ibroh Dari Covid 19

Sejak awal merebaknya covid 19 di Kalimantan Selatan, termasuk tak ketinggalan juga daerah kami Kab. Hulu Sungai Utara, saya dan keluarga selalu berusaha lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan siapapun, selain selalu memakai masker juga berusaha tidak bersalaman dengan orang lain. Namun, ada sesuatu yang menurut saya kurang baik dilakukan dalam kondisi saat ini yaitu ketika orang lain ngajak bersalaman, lebih-lebih orang yang kita kenal, ada perasaan tidak enak jika harus menolak salaman. Sehingga salaman pun tetap kita lakukan, sedangkan kita tidak bisa mendeteksi dari mana virus itu datangnya, walaupun sudah pakai masker tapi tangan kita bisa saja bersentuhan dengan apapun, sehingga suatu keharusan bagi kita untuk sering-sering mencuci tangan.
Pada suatu hari, saya dan keluarga menyempatkan mampir kerumah Mama di Barabai, kami dapati beliau sedang kurang sehat dan saya berharap penyakitnya tidak terlalu berat. Karena hari sudah mulai sore, kami pun pamit pulang ke Amuntai. Perjalanan antara Barabai Amuntai hanya di tempuh dalam waktu satu jam. Kami tidak merasakan firasat apapun dalam sepekan itu, sampai akhirnya diberi kabar oleh ponakan bahwa mama masih sakit dan Nini (nenek) juga sakit. Akhirnya saya berangkat sendiri ke Barabai demi memastikan kondisi Mama dan Nini. Setelah menengok mama yang saya lihat kondisinya makin parah namun alhamdulillah masih bisa makan walau sedikit, sayapun kerumah nini. Saya mengira beliau sedang tidur, karena ketika dipanggil tidak merespon, akhirnya mencoba mancari informasi dengan bertanya kepada sepupu tentang perkembangan kesehatan beliau. Setelah itu balik lagi melihat kondisi Nini, dan ternyata alangkah kaget dan sedihnya saya menyaksikan Nini telah tiada. Perasaan saya tidak karuan, karena ternyata hari itu adalah pertemuan terakhir dengan beliau. 
Umur nini memang sudah sepuh, 92 tahun. Jarang mengeluh sakit, kecuali ketika usia lanjut terlihat tidak mampu berdiri lagi dan memerlukan bantuan jika harus ke kamar mandi. 
Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba saya teringat mama yang juga sedang sakit, akhir buru-buru menemui beliau dan berusaha menguatkan agar tidak terlalu bersedih atas kepergian nini menghadap Ilahi. Terlihat dari raut wajah, mama sangat tegar dan tabah menghadapi ujian ini, akan tetapi justru saya yang merasa sangat rapuh saat itu. 
Pada malam senin itu, saya terpaksa harus pulang agar besoknya bisa bersama istri dan anak mengantarkan jenazah nini ke pemakaman. 
Setelah pemakaman, pada malam harinya kamipun pulang ke rumah. Saya masih kepikiran mama yang kondisinya terlihat belum ada perkembangan, besok harinya saya kembali ke rumah mama dan menginap disana. Kondisi kesehatannya tetap tidak ada perkembangan, bahkan cenderung makin parah. Selain tidak ada makanan yang masuk sedikitpun dalam beberapa hari, tiap malam tidak bisa tidur dan selalu meringis kesakitan dirasakan sekujur tubuhnya. Kami anak-anak dan cucu beliau secara bergantian mendampingi sambil membacakan Al Quran dan zikir-zikir. Pada hari Rabu pagi 2 September 2020, saya minta izin sebentar balik ke Amuntai untuk menyelesaikan tugas di Kampus tempat saya bekerja. Walau kelihatan berat, beliau tetap memberi izin dan saya berjanji akan segera kembali pada hari itu juga, sedangkan istri melarang saya meninggalkan mama dalam kondisi seperti itu. Demi tugas yang harus segera dituntaskan, alhamdulillah pada hari itu dapat diselesaikan dengan baik. Ketika ingin pulang ke rumah, tiba-tiba hp berdering, tertulis nama adik bungsu menelpon dan mengabarkan bahwa mama dalam kondisi kritis. Seketika hati saya tak karuan diselimuti bayangan yang bermacam-macam. Segera saya telpon istri agar bersiap untuk berangkat ke Barabai. 
Berangkatlah kami, saya tancap pedal gas dengan kecepatan yang tidak biasa, namun selalu berusaha agar tetap dapat mengendalikan diri, walau sesekali menahan derasnya air mata dan berharap masih bisa dipertemukan dengan mama untuk terakhir kalinya. Juga ada perasaan menyesal kenapa mama ditinggalkan dalam kondisi seperti itu. Jika memang tidak sempat ketemu dan beliau sudah meninggal, saya berharap mama sudah memaafkan kesalahanku. Suasana kami diperjalanan yang biasanya diwarnai obrolan dan canda tawa, pada hari itu terasa hening dan terbawa perasaan masing-masing, sesekali istri berkomunikasi via whatshapp dengan adik yang selalu menanyakan posisi kami dimana. 
Sampailah kami dirumah mama dan langsung menemui beliau yang pada saat itu sudah tidak merespon sedikitpun ketika diajak berkomunikasi. Kaka, adik, dan ponakan semua komplit berkumpul pada hari itu. Saya bilang kepada mereka agar mengikhlaskan mama jika Allah Swt berkehendak memanggilnya, mendoakan yang terbaik buat beliau dan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam sakaratul maut. Saya, kaka dan adik-adik tidak sanggup lagi membendung air mata, sambil tetap berusaha tegar menghadapi ujian ini. 

Tilawah dan talqin tak henti kami lakukan secara bergantian, pada hari Rabu menjelang magrib itu, kondisi mama semakin tenang, tidak mengeluh kesakitan seperti sebelumnya. Namun terlihat ada hal yang tidak biasa, menandakan bahwa itu adalah proses sakaratul maut, sehingga terus menerus saya talqinkan di telinga kanannya dengan kalimat "Laa Ilaha illallah", sedangkan yang lain membaca surat yasin dan surat lainnya dalam Al Quran. Pada malam itu juga, tepatnya 15 Muharram 1442 H (2 September 2020), pukul 21.40 mama menghebuskan nafas terakhir dengan tenang. Innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun, sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Suasana malam itu tiba-tiba diselimuti kesedihan seluruh keluarga. Saat itu tidak banyak kata yang keluar dari mulut kami.

Kami sadar bahwa Allah Swt lebih mencintai mama, tidak ada yang dapat meminta tunda sedetikpun ketika ajal telah tiba, tidak ada yang mampu menghalang-halangi malaikat maut ketika ia menjalankan tugas dari Rabbnya, tidak ada artinya harta benda yang banyak ketika ajal tiba, semuanya kembali kepada bekal apa yang dibawa manusia, bekal yang seharusnya dibawa manusia tidak lain adalah amal shalih yang ia lakukan ketika di dunia. 

Setelah mendengar kabar bahwa mama telah wafat, jiran tetangga berdatangan. Mereka langsung berkumpul untuk membicarakan proses pemakaman esok harinya dan disepakati shalat fardhu kifayah dilaksanakan pada pukul 11.00 wita. 
Pada pagi harinya, jenazah mama dimandikan oleh petugas  dan dibantu oleh kaka dan istri saya. Sampailah saatnya pelaksanaan shalat fardhu kifayah, saya diminta oleh keluarga untuk menjadi imam. Pada saat mengimami shalat kifayah tersebut, saya tidak kuat menahan air mata, karena dihadapan terbujur kaku ibunda tercinta, itulah saat terakhir dekat dengan beliau. Selanjutnya dibawa ketempat pemakaman (alqah) keluarga yang tiga hari sebelumnya, Nini juga dimakamkan dilokasi yang sama. Semoga Allah Swt mengampuni dosa mama dan nini, melapangkan alam kuburnya dan memasukkan keduanya ke dalam surga firdaus, aamiin. 
========
Covid Menyerang
Kurang lebih dalam satu pekan, hampir setiap hari kami bolak balik Amuntai-Barabai dalam kondisi kurang istirahat dan kelelahan yang luar biasa. Hal ini tidak biasa saya alami, akhirnya hari keempat pasca wafatnya mama, kami jatuh sakit. Demam dan batuk terasa agak parah, badan sakit dan susah tidur, makanpun tak berselera. 

Kami konsultasikan dengan dokter dan disarankan agar saya dan istri menjalai tes swab. Awalnya agak ragu, namun agar ada kejelasan penyakit yang di alami, kami pun mengikuti anjuran dokter. Apapun hasilnya, kami berusaha untuk siap menghadapi takdir yang sudah menjadi ketetapan Allah Swt. Terbersit dalam pikiran, kalau nanti hasilnya positif, apa yang harus kami lakukan?, bagaimana ini, bagaimana itu, banyak sekali melintasi pikiran saya. Tidak ada keluarga dekat disini, siapa nanti yang akan dimintai tolong jika harus dilakukan isolasi mandiri? Atas semua pertanyaan itu, kami kembalikan pada Allah Yang Maha Pemberi solusi, kami yakin Dia tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuan, Ia pasti akan memberikan solusi terbaik atas masalah yang di alami hamba-Nya. 

Hari Ahad kami berdua mulai sakit, hari Rabu baru ada jadwal tes swab yang di fasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara. Tiga hari berikutnya, keluarlah hasil swab kami berdua bahwa positif covid 19. Jleb.....kami langsung kaget, dada ini berdegup tak biasa, agak syok setelah melihat hasilnya. Alhamdulillah, situasi ini tak berlangsung lama, saya melantunkan istighfar berulang kali. 
"Ya Rabbi, ampunilah segala kelalaian kami, ampunilah kesombongan yang ada dalam diri kami, ampunilah kecerobohan kami, ampunilah segala dosa-dosa kami, kuatkan mental dan kesabaran kami dalam menghadapi ujian ini".

Virus Covid yang banyak ditakuti orang, berhasil menyerang pertahanan tubuh kami di saat kelelahan fisik dan pikiran, akhirnya tak mampu menjaga pertahanan diri. 

Saat menjalani isolasi mandiri, kami banyak merenung, mengevaluasi diri yang sering lalai dan kurang bersyukur, mungkin ini cara Allah menghapuskan dosa dan kesalahan selama ini. Yang membuat terharu adalah kepedulian kawan-kawan saat mendengar kami sakit, bukan hanya doa kesembuhan yang mereka ucapkan, namun juga berbagai bahan makanan, minuman, obat herbal dan suplemen kesehatan diantarkan langsung ke rumah, ada yang setiap hari membelikan sarapan pagi dan lauk. Air mata ini tak mampu terbendung, perasaan haru dan syukur bercampur. Support, doa dan nasehat mereka membuat kami makin optimis bahwa saat-saat sulit ini dapat dilalui dengan mudah bi idznillah. Ternyata kami tak sendiri di sini, banyak kawan-kawan yang sangat mencintai kami melebihi diri mereka sendiri, rela menyisihkan sebagian rezki hanya untuk membantu meringankan kesusahan. "Ya Rabb, balaslah kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlimpah dari sisi-Mu, mudahkan urusan mereka karena memudahkan urusan saudaranya, karuniakan kesehatan dan keberkahan dalam kehidupan mereka".

Setelah kami berdua terkonfirmasi positif, sepekan berikutnya anak semata wayang yang kami sayangi juga dinyatakan positif. Ya Allah ya Rabb, kuatkan kami menghadapi ini semua. Dibutuhkan kesabaran lebih dan tetap husnuzzhan (baik sangka) kepada Allah Swt, Ia tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya, dibalik peristiwa ini saya yakin terdapat hikmah dan pelajaran berharga. Alhamdulillah, anak kami hanya bergejala ringan, ada sedikit batuk, namun secara umum kondisi kesehatannya baik-baik saja. 

Sepuluh hari kami menjalani isolasi mandiri, alhamdulillah kondisi kesehatan berangsur membaik. Walaupun terasa lama, karena setiap hari lebih banya dirumah. Pada memeriksaan swab kedua, hasilnya tetap positif karena memang saat itu badan belum fit seratus persen dan masih ada keluhan batuk-batuk.

BERSAMBUNG

Minggu, 09 Agustus 2020

Menghafal Al-Quran Usia 45 Tahun, Mungkinkah?

Bagian Pertama

MASA LALU SEBAGAI IBRAH

Sejak lulus Madrasah Aliyah tahun 1995, sebenarnya saya ingin masuk ke ponpes tahfiz di kampung. Namun akhirnya yang menjadi tujuan adalah ponpes Al Ihsan di alabio, jaraknya kurang lebih 40 km dari tempat tinggal saya. Selain belajar ilmu Bahasa Arab, di pesantren juga sambil menghafal al Quran walau tidak ada program khusus menghafal. Alhamdulillah saya bisa menyelesaikan juz 30 dan juz 1. Saya pikir cukuplah menjadi bekal masuk di LIPIA Jakarta. Setahun belajar di pondok, tepatnya pada tahun 1996 saya bersama Rosyadi Ilmi merantau ke Jakarta untuk mendaftar kuliah di LIPIA. Namun sayang sekali saya tidak lulus seleksi, karena memang kemampuan Bahasa Arab saya lemah dan berhadapan langsung dengan orang arab membuat saya grogi juga..hehe. alhamdulillah enam bulan berikutnya dapat lulus program i'dad lughawi. Dua tahun kuliah saya gunakan waktu untuk melanjutkan menghafal Al-Quran di Lembaga Tahsin dan tahfizh Al-Hikmah Mampang Prapatan Jakarta Selatan, karena ketiadaan biaya akhirnya saya hanya sampai program tahsin saja, tidak meneruskan ke jenjang tahfizh. Ternyata memang tidak mudah menghafal Al-Quran tanpa di dampingi seorang musyrif. Saya pernah juga ikut program tahfizh di Masjid Al-Makmur Klender Jakarta Timur. Alhamdulillah selesai juz 29, dalam rentang waktu tersebut (1995-1999) saya dapat menghafal juz 1,2, 29, 30 ( 4 juz). Sampai usia sekarang 45 tahun, saya mencoba terus berusaha mempertahankan hafalan tersebut, walau berat karena disibukkan dengan pekerjaan dan aktivitas lainnya, membuat saya lupa dengan ayat-ayat yang pernah saya hafal. Astaghfirullah.... saya merasa berdosa sekali melupakan Al-Quran. 

Saya terus menerus berdoa agar selalu dekat dengan kitab mulia tersebut. Keinginan untuk menambah hafalan memang masih ada, sampai program tahfizh online pun pernah saya ikuti, akan tetapi entah kapan bisa intiqomah, saya tidak tahu. Semoga Allah Swt mengampuni dosa-dosa saya yang membuat berat rasanya menghafal Al-Quran. 
===BERSAMBUNG===

Rabu, 15 Juli 2020

DEMI SEBUAH CITA-CITA

DEMI SEBUAH CITA-CITA

Roy seorang pemuda yang baru menyelesaikan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, wisuda sarjana yang begitu meriah membuatnya bangga karena berhasil lulus dengan predikat memuaskan. Lima tahun yang lalu, Roy memberanikan diri merantau dari desa ke ibu kota demi menggapai sebuah cita-cita yaitu sarjana di bidang pendidikan. Walaupun sebenarnya ibunya tidak mengizinkannya, karena akan berpisah dengan anak satu satunya.
"Ibu, Roy sudah lulus sekolah SMA, mohon izinkan Roy menggapai cita-cita yang sangat Roy impikan bu". Ibunda Roy terdiam sejenak, sambil menunggu apa yang selanjutnya akan disampaikn oleh anak tersayangnya. 
"Bu, Roy ingin sekolah ke Jakarta". 
Ibunda Roy kaget seakan tidak percaya apa yang diucapkan anaknya, sesuatu yang belum pernah terbayang olehnya, tiba tiba diucapkan oleh anak tersayangnya. 
"Apa? Kamu ingin sekolah ke Jakarta? Ibu belum bisa mengizikan kamu sekolah jauh-jauh nak, siapa yang nanti menemani ibu, membantu ibu ke sawah, tidak ada orang lain yang bisa ibu harapkan selain kamu anakku satu-satunya."
Sejak Roy berusia lima tahun, ayahnya meninggal karena sakit, sehingga ibunya yang membesarkan Roy sampai dewasa. 
"Roy mohon ampun dan maaf bu, ini adalah cita-cita yang sekian lama Roy dambakan."
Terlihat ibu memalingkan muka, tanda tidak bisa menerima keputusan Roy. Perlahan Roy menjauh dari ibunya dan memasuki kamar dengan perasaan sedih. Karena hari sudah larut malam, Roy membaringkan tubuhnya di atas dipan beralas tikar. Pada malam itu Roy tak bisa tidur, malam yang dingin bak terasa panjang dan menusuk tulang, suara jangkrik mengiringi irama malam itu tak membuat Roy terlelap, perasaannya berkecamuk, antara idelisme sebuah cita-cita dan seorang ibu yang sangat dikasihinya. kadang muncul keraguan, kadang Roy berpikir masa depan, sehinga membuat optimisme muncul kembali. Tiba-tiba terdengar olehnya suara lirih di sebelah dinding kamarnya. Membuat ia penasaran, lalu sambil mendengarkan suara dari balik dinding kamar, ibunya sedang berdoa sambil menangis.
" ya Rabbi, ampunilah segala dosa dan kesalahan hamba yang lemah ini, bimbinglah hamba agar dapat memberikan pendidikan yang baik untuk anak hamba Ahmad Royani, bimbinglah dia agar selalu dalam taat kepada-Mu, mudahkanlah rezkinya, berilah ilmu yang bermanfaat kepadanya, jadikanlah dia anak yang berguna bagi agama-Mu, keluarga dan lingkungannya, mudahkanlah ia dalam menuntut ilmu, hanya kepada Engkau hamba memohon ya Rabb."
Sesekali ibunda Roy mengusap air matanya yang membasahi pipi, larut dalam munajat dipenghujung malam yang dingin dengan harapan penuh agar doanya dikabulkan. Doa ibunya terdengar jelas, membuat Roy terharu dan tak terasa air matanya menetes. Tanpa sadar iapun terlelap menjelang subuh tiba, suara azan membuat ia terbangun lalu bersegera menunaikan shalat subuh. 
======
Seperti biasa Roy membantu ibunya di sawah peninggalan kakeknya. Itulah yang menjadi andalan mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, terkadang juga terdapat hasil kebun yang bisa dimanfaatkan sehari-hari. Berdasarkan saran dari teman sekolahnya, akhirnya Roy mecoba untuk meyakinkan ibunya dengan alasan yang "mudah-mudahan dapat diterima". Kembali Roy berusaha mengambil hati ibunya. Ia mengawali pembicaraan dengan sedikit bercerita.
"Ma, mmmm," Roy agak ragu
" Ma, kawan-kawan Roy di kampung ini banyak yang putus sekolah, tamat SMP pendidikan tertinggi mereka. Roy ingin bisa bersekolah lebih tinggi." Ibu menyimak ucapan Roy, sesekali melihat masakan yang ada di dapur. 
"Maksudmu apa nak?" "Ibu kurang mengerti apa yang kami inginkan"
"Begini bu, Roy bersyukur bisa bersekolah sampai SMA, ini berkat doa dan perhatian ibu, dan berkat kebaikan hati paman di kota yang bersedia menampung Roy dirumahnya selama menjalani pendidikan disana. Roy punya cita-cita menjadi guru yang bermanfaat bagi banyak orang, ibu maukan membantu Roy?."
"Insya Allah ibu akan bantu semampu ibu,". Kata ibu sambil terseyum merangkul Roy.
Merasa ada sinyal baik, Roy bersemangat melanjutkan ceritanya. 
" bu, alhamdulillah Roy lulus seleksi perguruan tinggi dan berhak mendapatkan beasiswa, jadi ibu ga perlu memikirkan biaya kuliah Roy,"
"Alhamdulillah, ibu turut bersyukur, doa ibu selama ini diijabah oleh Allah Swt." " Nah, terus kamu mau melanjutkan kuliah kemana?" lanjut ibu dengan nada penuh tanda tanya.
" Roy akan kuliah di Jakarta bu, karena perguruan tinggi itulah yang menawarkan beasiswa." 
Ibu tidak langsung memberikan respon, namum beliau minta waktu untuk berpikir. 
" anakku, beri waktu ibu untuk berpikir "
Roy hanya mengangguk, tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Sembari menunggu jawaban dari ibunya, Roy memilih banyak berdoa pada penghujung malam. Ia terus berdoa agar diberi kemudahan dan jalan keluar. Walau sebenarnya tidak mudah baginya meninggalkan ibunya sendirian di desa, sebuah pilihan sulit. Sudah tiga hari menunggu, jawaban tak kunjung tiba. Roy pun merasa tidak enak terlalu banyak meminta, khawatir ibunya kecewa. 
Suatu pagi, usai shalat subuh ibu berkata:
"Anakku, apakah kamu benar- benar serius ingin menuntut ilmu ke ibukota?," Roy kaget dengan pertanyaan itu.
"I, iya bu. Insya Allah Roy serius"




Surat Cinta Nela

Pendahuluan Tulisan ini hanya catatan-catatan kecil yang saya buat setelah melepas anak kesayangan satu-satunya untuk melanjutkan pendidikan...